Orang tua - mana yang tidak cemas bila mengetahui anak remajanya suka ikut tawuran yang hingga saat ini masih ramai dan berakibat fatal berupa kematian. Untuk memastikan bahwa anak anda terlibat atau tidak dalam aksi tawuran, anda dapat menghubungi teman-temannya atau pihak sekolah.
Fenomena tawuran dikalangan pelajar SMA bahkan pelajar SMP ini disebabkan anak di usia remaja punya karakter yang beda dengan orang dewasa dan anak-anak, mereka dipengaruhi hormon dan proses menuju matangnya fungsi eksekusi (executive function) pada otak. Hal ini menjadikan remaja merasa orang di sekitarnya memperhatikan dirinya serta membuatnya ingin selalu menjadi remaja ideal menurut persepsinya sendiri.
Remaja ideal di persepsinya tidak selalu remaja yang baik secara akademis, bisa saja remaja yang gaul dan disukai banyak lawan jenis. Karakter lain adalah konformitas terhadap teman seumurannya. Kalau banyak teman saya ikut tawuran dan baik-baik saja, kenapa saya tidak. Perilaku ikut tawuran bisa muncul dari dua karakter itu.
Bisa jadi di sekolah, siswa yang paling ditakuti sekaligus dihormati adalah yang kuat dan jago berantem. Lalu didukung dengan ketika ia masuk sekolah, teman-temannya sudah banyak yang melakukan tawuran. Jadi, bila ia tidak ikut maka akan dianggap tidak solider dengan teman. Mengubah budaya yang sudah ada di satu sekolah butuh kerja sama dengan sekolah dan orangtua murid. Persatuan orang tua murid dan guru bisa menjadi saluran yang tepat untuk menyatukan banyak persepsi orangtua murid.
Dengan semangat persatuan, suara orang tua murid ini bisa disalurkan ke sekolah. Bahkan bisa cukup kuat menekan sekolah untuk membuat perubahan. Tentu saja, akan jauh lebih baik, bila perubahan itu diusahakan bersama-sama dengan orang tua murid juga. Beberapa sekolah sukses membangun budaya baru misalnya mereka yang benar-benar satria berantem satu lawan satu atau mewujudkan model rujukan siswa ideal yang eksis melalui ekstra kulikuler seperti basket, cheerleaders, dan sebagainya. Usaha ini efeknya jangka panjang.
Selain mengusahakan penekanan di sekolah, anda juga bisa mengajak anak berkomunikasi lebih intensif. Remaja pada dasarnya melakukan itu dalam rangka mencari tahu seperti apa dirinya (real self) dan seperti apa dirinya yang ia inginkan (ideal self). Tanyakan menurutnya seperti apa dirinya. Apakah ia bangga dan puas dengan dirinya saat ini? Lalu apakah dirinya saat ini sudah sesuai dan ideal menurutnya. Semakin jauh perbedaan antara real self dan ideal self membuatnya akan melakukan berbagai cara demi menjadi dirinya yang bukan sebenarnya.
Namun penting untuk diingat bahwa komunikasi ini harus dilakukan dalam posisi setara. Jadilah seperti teman, yang tidak menasehati, tidak melarang, serta tidak menyangkal. Tentu saja rasanya miris ketika mendengar anak kita mengatakan bahwa dia tidak punya kelebihan. Rasanya ingin segera mengatakan itu tidak benar lalu memuji-mujinya. Namun tunggu sampai ia selesai mengatakan semuanya, khususnya apa pendapatnya seseorang yang ideal itu. Bantu anak menerima bahwa kalau saat ini ia belum seperti yang ideal, itu bukanlah kesalahan. Lalu buatlah rencana bersama bagaimana mencapai yang ideal itu didasarkan pada talenta yang ia miliki dan hal yang ia senangi untuk lakukan.
Sebagai referensi , pernah ada seoarang anak remaja yang sering melakukan bullying dan berantem. Setelah digali ia merasa tidak punya kelebihan, mengikuti pelajaran pun begitu sulit baginya dan memang nilainya konsisten rendah. Ia hanya bisa dan senang dengan bela diri. Ia ingin dihormati selayaknya mereka yang dipuji-puji karena nilainya baik. Saat ini anak tersebut sudah tidak lagi sering berantem (masih di bangku SMA) namun ia menjadi pelatih muay-thai di sebuah gym ternama. Akhirnya anak ini menemukan rasa bangga terhadap dirinya karena di bangku SMA ia sudah bisa mencari uang tambahan sekaligus menyalurkan hobinya.
Jadi sebenarnya anak remaja itu tidaklah melakukan kesalahan dalam versi mereka, hanya saja pengertian kitalah yang diharapkan untuk meluruskan dan mengarahkan keadaan untuk menjadi lebih baik.
Post a Comment